Barangkali inilah satu-satunya masjid unik di Indonesia. Pertama, sejak dibangun tahun 1978, hingga kini belum juga selesai. Bahkan, bisa jadi tidak akan pernah selesai.
Kedua, gedung 10 lantai yang berdiri di lahan seluas 6,5 hektare itu dibuat tanpa ada gambar rancangan atau desain. Semata-mata hanya mengandalkan mata batin dan salat Istikharah.
Di Google maupun YouTube, bangunan yang berlokasi di RT 27/RW 06, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, ini populer disebut ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban”.
Bahkan, kepopuleran masjid ini hingga sampai ke luar negeri, terutama di Malaysia. Buktinya, hampir setiap hari, selalu ada pengunjung dari negeri jiran yang datang ke masjid tersebut.
Lantas, mengapa disebut ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban”? Benarkah banyak misteri di dalamnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan sengaja dibiarkan berkecamuk liar di tengah-tengah masyarakat. Hinggap dari satu anggapan ke anggapan lainnya tanpa ada jawaban yang jelas. Dan, itu terjadi sampai sekarang.
Di sisi lain, sebutan ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban” makin populer saja. Bahkan, tempat itu sudah menjadi destinasi wisata internasional.
Sebab, tak sedikit turis asing yang mendarat di Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, hanya untuk mengetahui dari dekat ”Masjid Jin” yang punya ratusan menara itu.
Untuk mengulik lebih jauh tentang isi ”Masjid Jin” tersebut, tim Jawa Pos Radar Malang berada di sana selama beberapa hari sejak 19 Juni lalu.
Jika melihat dari papan nama yang terpampang di pintu masuk ”Masjid Jin”, jelas tertulis: Pondok Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir Rahmah.
Jadi, merujuk pada papan nama itu, bangunan utama sebenarnya bukanlah sebuah masjid. Melainkan, sebuah pondok pesantren (ponpes). Namun, di dalam ponpes itu terdapat bangunan masjid.
Bagi pengunjung yang ingin menjelajah di ”Masjid Jin” atau ke ponpes itu, sudah ada rutenya. Mereka tinggal mengikuti petunjuk arah yang sudah disediakan. Jadi, setiap pengunjung bisa menyaksikan setiap ruangan yang ada.
Sayangnya, tak semua ruangan bisa disaksikan pengunjung. Akan tetapi, wartawan Jawa Pos Radar Malang bisa menyaksikan hampir semua ruangan yang ada di bangunan 10 lantai tersebut.
Untuk menghitung jumlah ruangan di setiap lantai, wartawan media ini sempat kesulitan. Selama tiga jam lebih, beberapa anggota tim media ini disebar untuk secara khusus menghitung jumlah ruangan mulai dari lantai 1 hingga 10.
Hasilnya, ternyata hasil hitungan antara satu orang dengan orang lainnya tidak sama jumlahnya. Ada yang setelah menghitung, jumlah ruangannya dari lantai 110 adalah 173 ruangan.
Namun, ada pula yang mencatat 184 ruangan. Bahkan, ada salah seorang anggota tim yang sempat tersesat karena tidak tahu jalan keluar ketika sedang asyik-asyiknya menghitung ruangan di setiap lantai.
”Hitungan saya langsung ambyar (hilang) begitu saya sadar kalau sedang tersesat,” kata anggota tim yang tersesat itu.
Saat tim Jawa Pos Radar Malang menanyakan jumlah ruangan ini ke beberapa santri di ponpes itu, mereka kompak menjawab tidak tahu.
”Kami tidak pernah bisa menghitung jumlah ruangan secara pasti. Yang jelas, jumlahnya mencapai ratusan ruangan,” kata Purwanto, salah seorang santri senior yang menemani wartawan media ini mengelilingi bangunan ponpes.
Setelah menyaksikan satu per satu ruangan di ”Masjid Jin”, ada kesan kuat yang langsung tebersit. Yakni, konstruksi bangunannya terkesan tidak tertata dan sekilas agak serampangan. Tapi anehnya, tetap menyenangkan jika dipandang.
Salah satu sebabnya, di setiap ruangan kaya akan hiasan ornamen biru dan putih. Corak hiasannya pun seperti tidak lazim. Namun, lagi-lagi tetap menyenangkan jika dilihat.
Ruangan-ruangan di dalam ”Masjid Jin” itu tidak sama ukurannya. Ada yang berukuran besar, sekitar 20×100 meter. Ada pula yang terkecil, 1×2 meter.
Ruangan di lantai I kebanyakan masih berupa bangunan kuno. Di lantai ini, terdapat kamar yang dulu ditinggali oleh almarhum KH Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rohmad Alam.
Dia adalah pendiri Ponpes Salafiah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir Rahmah (selanjutnya disebut Bihaaru).
KH Ahmad Bahru wafat pada 2010. Di lantai I, juga ada dapur, ruang keluarga, hingga musala yang biasanya digunakan untuk mengajar para santrinya.
”Ini ndalemnya (rumahnya) romo Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rohmad Alam),” ujar Purwanto sambil menunjuk ruangan yang dindingnya terlihat sudah banyak yang lapuk.
Kini, bangunan di lantai I itu sudah tidak ditempati keluarga Kiai Ahmad sehingga menjadi tempat peristirahatan para santri. Wisatawan yang berkunjung juga diperbolehkan beristirahat di area tersebut.
Namun, karena lokasinya berada di tempat yang menyerupai lembah dan agak tersembunyi, tak banyak pengunjung yang mengetahuinya.
Usai mendampingi berkeliling ke seluruh ruangan di lantai I, dilanjutkan ke lantai II. Di tempat ini, sudah banyak bangunan baru. Beberapa pengunjung tampak berseliweran berada di ruangan ini.
Berdasarkan pengamatan Jawa Pos Radar Malang, hampir di semua ruangan, mulai lantai III, IV, V, VI hingga lantai X, tidak ada yang serasi. Mulai dari motif ornamennya hingga konstruksi bangunannya.
Dalam satu ruangan, ornamen yang dipasang lebih dari satu motif. Ada yang sampai dua, tiga, hingga empat motif ornamen dalam satu ruangan.
Media ini pun sudah mendatangi tempat di mana berbagai motif ornamen itu dibuat. Lokasinya berada di area ponpes.
Setelah dihitung, total ada 582 motif ornamen yang menempel di seluruh bangunan ”Masjid Jin” tersebut.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut, mayoritas ornamen itu merupakan perpaduan antara gaya Tiongkok dan Timur Tengah.
Purwanto menyatakan, semua motif yang berjumlah ratusan itu merupakan hasil rancangan Kiai Ahmad.
Demikian pula dengan penataan ruangannya. Satu sisi dipasang ornamen bermotif khas Timur Tengah, sedangkan sisi lainnya dibiarkan kosong.
”Kalau melihat ruangan ini dari mata lahir, akan berkesimpulan bahwa gedung ini tidak teratur,” kata Purwanto. ”Romo Kiai Ahmad membangun ini menggunakan tolok ukur mata batin,” lanjutnya.
Purwanto lantas menceritakan proses pembangunan gedung tersebut. Pada 1968, Kiai Ahmad merencanakan pembangunan ponpes.
Akan tetapi, peletakan batu pertamanya baru dilakukan 10 tahun kemudian, tepatnya pada 1978. Kala itu, bangunannya masih kecil. Selanjutnya, secara bertahap, Kiai Ahmad melakukan perluasan bangunan.
Menariknya, keinginan untuk memperluas bangunan itu sangat terkait dengan masalah di masyarakat yang dijumpai Kiai Ahmad.
Jadi, begitu Kiai Ahmad menjumpai ada masalah di masyarakat, pada saat itu pula beliau membuat perluasan bangunan.
0 Response to "Misteri Masjid Jin, Bergantung pada Mata Batin Sang Kiai"
Post a Comment